DITABRAK ORANG DI AREA PUBLIK
Yang sering terjadi saat penyandang disable beraktivitas di area publik, yaitu ditabrak orang-orang yang lalu lalang yang memang abai dengan lingkungan sekitar kecuali sibuk dengan urusannya sendiri, seperti orang becanda, orang maenan telepon, ibu2 jalan sambil asik nonton etalase sehingga ga lihat ada si pincang bertongkat jalan di depannya.
Asal tahu aja ya, si pincang yang belum mahir jalan seperti saya, biasa berjalan - mengayun kedua tongkat sambil melihat ke bawah (lantai), bukan ke depan. Sehingga saat ketabrak orang lalu lalang nyaris tumbang akibat terganggu keseimbangan.
DIKASIHANI PETUGAS SEKURITI DI MANA AJA
Kelompok masyarakat umum yang paling perhatian kepada kaum disable adalah justru petugas sekuriti. Saat saya hendak naik kendaraan dengan susah payah di parkiran sebuah mall, seorang petugas pengamanan terus menguntit saya, membantu hingga ke mobil, dan tahu apa yang beliau katakana ? Katanya, "Tetap semangat, bu ..." Subhanallah ....
Saat di kampus, sejak masuk lobi yang pintunya memang bukan otomatis, seorang cleaning service dari kejauhan di belakang saya, berjarak 20 meter, lari-lari segera membantu saya mendorong membukakan pintu kaca yang besar dan beratnya minta ampun. Beliau terus berada di dekat saya saat menaiki 3 (tiga) anak tangga di dalam lobi. Tiba di receptionist, petugas sekuriti membuka pintu akses belakang meja kerja mereka sehingga saya tidak perlu melewati pintu akses umum berkartu yang ribet.
Tidak hanya itu, seorang petugas keamanan perempuan membantu membawakan tas sekolah saya hingga dalam kelas. Maklum, si penyandang disable yang berjalan dengan dua tongkat seperti saya, ga bisa bawa apa2 karena kedua tangan harus mengoperasikan tongkat.
Di rumah sakit, petugas keamanan membiarkan saya parkir di depan lobi, dan beliau membantu saya mengurus menebus obat hingga kelar, akibat saya terlupa, sudah bayar tapi resep belum ditebus di apotik rumah sakit.
BERJALAN MENGAYUN BERTUMPU PADA PERGELANGAN TANGAN, BUKAN PADA KETIAK
Penyandang disability yang berjalan dengan tongkat, saat berjalan, mengandalkan kekuatan pergelangan tangan untuk menopang tubuhnya, bukan pada ketiaknya pada ujung tongkat. Itulah sebabnya, berjalan dengan tongkat sungguh sangat melelahkan.
Terlebih pada awal rehabilitasi, selain belum mahir berjalan, kaki yang cedera belum diperkenankan untuk menapak dan menumpu beban tubuh sama sekali. Artinya, penyandang disability harus berjalan dengan satu kaki. Dan berjalan dengan cara itu, sungguh sulit dan melelahkan ....
HANYA BERJALAN, TAK BISA MEMBAWA APAPUN
Penyandang disability yang berjalan dengan 2 tongkat, tidak bisa bawa barang apa (tas, dll.) kecuali tubuhnya sendiri. Kalaupun bisa, akan sangat repot dan berisiko jatuh karena jemari tangannya terlalu sibuk, antara memegang barang dan mengoperasikan tongkat.
Membawa tas di bahu, di punggung juga rasanya sangat mengganggu keseimbangan dan tidak nyaman. Paling memungkinkan dibawa bagi penyandang disability saaat berjalan dengan 2 tongkat adalah tas kecil yang diselempangkan di depan.
TIDAK BISA BERJALAN JAUH
Berjalan dengan 2 tongkat, sungguh sangat melelahkan. Maka berjalan 100 meter, itu sudah sangat maksimal yang rasional dilakukan oleh penyandang disability yang tidak bisa berjalan. Mengapa ? Karena saat sudah lelah, konsentrasi sudah sangat terganggu, akibatnya keseimbangan tubuh saat mengayun tubuh dengan kedua tongkat sudah semakin tidak terjaga. Akibatnya, potensi untuk jatuh ke belakang. Itu yang sering saya alami.
BUTUH KURSI RODA DAN PENDORONG PROFESIONAL
Maka bila penyandang disability perlu melakukan mobilitas lebih, menggunakan wheel chair akan sangat membantu. Perkaranya, yakinlah, walaupun kelihatannya sepele dan mudah, namun tidak semua mengerti prosedur mendorong penyandang disability menggunakan wheel chair.
Umumnya, pendorong kursi roda mengangggap penyandang disability ini layaknya barang biasa atau troli. Artinya, mereka tidak memahami bahwa setiap manuver wheel chair bagi penyandang disability ini membutuhkan space sedikitnya setengah meter, khususnya di depan area kakinya.
Dalam hal ini kasus cedera pada kaki maupun patah tulang paska operasi, maka cara mendorong kursi roda secara benar itu sangatlah penting. Itulah sebabnya, petugas di rumah sakit selalu mengoperasikan kursi roda dengan lebih banyak menarik mundur saat bermanuver, untuk menghindari area kaki yang sakit bersentuhan dengan benda-benda di sekitarnya.
By the way, wheel chair untuk penyandang disability seperti saya, beda dengan wheel chair manula. Terutama, wheel chair yang sangat membantu bagi penyandang disability seperti saya, adalah wheel chair yang dilengkapi dengan penumpu betis, bukan hanya foot rest untuk telapak kaki saja. Sebab, saat telalu lama menekuk 90 derajat, kaki bisa cenut-cenut dan panas bukan main, makanya ia perlu diletakan dalam posisi rebah 180 derajat.
PARKIR KHUSUS DISABLE
Ini jangan ditiru. Walaupun saya disable, saya masih nyupir sendiri ke mana-mana yang dekat-dekat. I have no one that I can count on to travel me anytime anywhere. Jadilah setelah berdiskusi dengan dokter 'boleh' nyupir tapi tidak jauh2.
Maka nyupirlah saya sendiri sejak pulang rumah sakit, alias 10 hari paska operasi serta bolak-balik ke rumah sakit saat kontrol yang jaraknya hanya 3 - 5 km dari rumah, pokoknya deket banget deh. Selebihnya, naik taxi, walaupun mabok, mabok bayarnya, dan mabok pengin muntah karena sejak kecil saya memang mabokan kalau jadi penumpang.
Nah, sebagai penyandang disability, maka saya kini berhak dah parkir khusus disability yang jaraknya hanya beberapa meter saja dari pintu lobi. Unexpected privilege sih sebenernya.
BEING A DISABLE HAS CHANGED THE WHOLE MY LIFE
Although it would be temporary, but being a disable is not easy and has changed the whole my life. I was a very mobile person and so active, so independence. I get use to do anything, almost anything by myself.
Once we get trouble in life, hence we learn many thing from life ....
Have a great day, people ! Love you !
No comments:
Post a Comment